Merindumu

1)
Dimanakah kamu saat itu…
Saat diri membutuhkanmu….
Namun kau sering menghilang…
Jauh melesat ke alam yang lain…
Melupakanku…
Meninggalkanku…sendiri
Dalam detik-detik yang penuh arti…

Kau biarkanku sepi…
Menangis…meratap…

Aku merindukanmu sayang…
Sebagaimana merindunya peraduan kita berdua…
Di saat…salat…
Ketika kita berdua bersatu…
menghadapNya…
di detik-detik malam…
kita beradu…
Jasad ini dan kau jiwaku…
MenghadapNya….
Mengadu dan berharap di sepinya malam…

Aku tahu…
Aku hanyalah jasad…
Yang seringkali menghadapnya…
Paling tak 5 kali sahaja….

Namun apa artinya diriku..
Tanpa dirimu di sisiku…
Oh jiwaku..
Aku kehilanganmu…
Di saat-saat itu…

Kembalilah kau…
Berpadulah denganku…
Saat suara-suara sayup adzan memanggil…
menghadapNya dengan penuh kesadaran…
dengan penuh rasa harap padaNya…

Kuingin
Nikmati detik-detik itu…
Bersamamu…

Kumerindumu….
Agar buah perpaduan khusyuk ini
Lahir…kembali…

By : oshee

11 62009000 2007 at 1:16 pm Leave a comment

Maafkan Aku Sepi!!!

salahku mungkin…
tak seharusnya aku mengeluh kesepeian
ketika sunyi dan kesendirian menjadi sahabat sejatiku

tak seharusnya aku mengeluh kesepian
kepada kau yang tak pernah tahu betapa dinginnya angin malam di bulan januari
tanpa ada tempat untuk bernaung

salahku mengeluh padamu
yang tak pernah tahu bagaimana rasanya hidup di balik dinding-dinding tebal dan tinggi
tanpa ada teman berbagi
kau tak pernah tahu bagaimana hidup dalam luka,dan tersendri terasing!!

ya, aku sadar aku salah mengeluh itu padamu
kau tak tahu itu
yg tak pernah menjadi sepertiku

seperti terkurung dalam kamar kedap suara yg gelap gulita
menangis dan mengerang ksakitan,tak ada satu orang pun yg medengar

ya kau bilang aku aneh
stlah skian lama bersahabat dengan sepi baru kini ku triak mengeluh
mungkin aku salah
maaf

aku coba tegar menjadi orang yg terasing
aku coba hibur diriku di balik dinding tebal dan tinggi ini
tanpa ada teman berbagi

aku sepi dalam sendri
dlu sendri
sekarang sendri
dan mungkin sampai nanti sendri

maaf…
biarkan aku sendri..
hingga kau pun mengerti sepi

By : Novie
lahore
01 november 2009

untuk kau yg tertawa akan kesepianku

11 52009000 2007 at 8:05 pm Leave a comment

Pendar Cinta-Mu Indah di Mataku

Gempa itu gemuruh dalam telingaku. Berdegum. Membelalakkan mataku. Membuka rahang mulutku. Tapi tak ada suara yang keluar. Hanya desis nafas yang abstrak. Heran, mungkin. Bukannya baru beberapa saat lalu bumi tempatku berpijak digoncang gempa. Retak tanahku membuat langkahku kini semakin awas.

Tapi di kejauhan ada senyum terkembang. Senyum para korban. Ah, mungkin itu hanya lamunku. Mana mungkin sang korban tersenyum dalam kenestapaan dan porak-porandanya hidup mereka. Tapi ini benar, mungkin hanya aku yang tahu.

Kalau memang benar senyum itu terkembang dari wajah sebagian korban itu, mungkin karena ia merasakan bahagia. Yah, mungkin saja mereka memandang hancur berantakannya hidup mereka oleh gempa itu adalah jalan singkat untuk menata kembali hidup mereka. Menjadi bangunan hidup yang lebih baik dan indah tentunya.

Tapi ternyata senyum itu tak hanya milik mereka, ada wajah lain yang juga melukis senyumnya. Senyum dari para manusia yang jauh dari lokasi bencana. Mereka memang bukan korban, jadi wajar. Aku rasa tidak juga? Mereka bukan sedang bersenang-senang di atas penderitaan para korban itu. Aku rasa mereka hanya tak bisa menahan kegembiraan hatinya. Gembira. Ya, rasa gembira itu memang sebuah kegembiraan yang nyata. Mereka hanya ingin sejenak memadu senyum bahagia, karena kemungkaran itu telah turut lenyap terkubur reruntuhan bangunan dan tebing pegunungan negeri ini.

Mereka memang tak bisa menyembunyikan kegembiraan itu. Bukan karena ingin melukai hati para korban. Tapi karena memang himpitan kemungkaran itu telah lama membuat nyilu jiwa mereka. Menyisakan sayatan luka dalam ruhani mereka. Membuat lebam setiap persendian mereka. Dan mungkin, inilah saatnya mereka tak merasakannya kembali. Agar jiwa mereka bebas melukis sketsa-sketsa jalan kebahagiaannya. Jadi, sejenak tersenyum melepas segala penyakit itu boleh kan? (Maaf, sekali lagi senyum itu bukan bermaksud untuk bersenang-senang di atas penderitaan saudara-saudaranya yang menjadi korban.)

Tapi ada makna lain yang kurasa dari pendar cinta-Nya. Oya, boleh kan aku menyebut gempa ini pendar cinta-Nya. Kalau kita tak merasa, mungkin hanya aku. Tapi memang aku merasakannya. Merasakan pendar cinta-Nya yang indah di mataku. Maka, tak heran jika kutatapnya lekat. Dan biarkan aku berbisik kepada-Nya tentang ini. Cukup berbisik kurasa, karena Tuhanku Maha Mendengar. Walaupun begitu, kau pun boleh mendengar. Inilah bisikku pada-Nya.

(Dalam kesunyian batin aku menatap pendar-pendar cinta-Nya sambil berujar akan segala makna yang kutangkap.)

…………………………

Kutatap pendar cinta-Mu. Cemerlang!!

Kini benakku mulai berpikir brilian. Hanya cita kebaikan yang mendesak-desak kuat. Menelisik dan lesat dalam lorong-lorong lamunku. Heran. Sejak sekian masa, kini nurani yang menjadi fitrahku itu kembali lagi. Saat jiwa ini bertemu dengan hentakkan taqdir-Mu.

Adakah gempa yang Kau cipta telah menggemuruhkan segala bisik kesadaran. Saat segala keangkuhan duniawi runtuh di tangan-Mu. Merayap segala retak dalam jiwaku yang rapuh. Berderit sakit menyisir segala noda di hati. Bahkan borokku kupaksa agar segera tanggal dari jiwaku. Agar busukku berubah aroma wewangian surga-Mu.

Kutatap pendar cinta-Mu. Dahsyat!!

Tiba-tiba hatiku tergetar. Mata ini pun harus mengerjap seketika, setelah selama ini membelalak dalam tatap kekaguman pada fatamorgana dunia. Sedikit silau memang. Ternyata masih ada keagungan yang lebih dahsyat milik Sang Pemilik alam. Dan aku baru tersadar kembali.

Lalu, ke mana terlabuh segala sesajen yang kualirkan diperairan negeriku. Saat keimanan bukan lagi pada pengesaan-Mu. Tetapi melebihi pada satu kekuatan alam yang kutakuti secara buta.           Bukan-Mu tentunya, tetapi pesaing-pesaing-Mu dari sesembahan lain -tak tahu berasal dari mana- yang kumunculkan dalam keseharian hidupku.

Kutatap pendar cinta-Mu. Kagum!!

Sungguh jitu cara-Mu. Segala keindahan dan kelincahan gaya ajar-Mu kepada kami. Menyentuh yang tak terlalu menyentuh. Mengelus yang tak terlalu mengelus. Bahkan, membentak-Mu tak terlalu membentak.

Tapi sekali lagi kini kagumku pada-Mu semakin menjadi-jadi. Bagaimana mungkin dengan sedikit sentil Kau mengubah arah labuhku. Bagaimana mungkin dengan sedikit kibas Kau membuka jalan solusi bagi keselamatanku jauh untuk masa depan. Masa depan akhirat penuh keagungan dan keindahan cipta karya-Mu.

Kutatap pendar cinta-Mu. Sejuk!!

Ketika air rahmat-Mu dalam aneka ragamnya mampu menghapus gundah gulana jiwa. Tangan-tangan nafsu angkara kami mulai terlucuti dari kemesraan gilanya. Memegang kembali warisan Rasul-Mu, Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Agung syair abadi-Mu dalam rangkaian firman. Dan semakin tuntas kepuasan batinku saat tergenapi oleh jejak kata dan gerak sunnah Rasul-Mu. Beginikah rasa hidayah itu? Hidayah setelah hentakan keras adzab-Mu. Entahlah, aku sendiri juga tak yakin. Apakah gempa ini adalah adzab atau ujian dari-Mu. Pastinya, dibalik semua itu kutemui kesejukkan iman kepada-Mu.

Kutatap pendar cinta-Mu. Hangat!!

Ternyata dinginnya kucuran hidayah-Mu tak sampai membuatku menggigil. Ada balutan iman yang membuat jiwaku kini perkasa. Kokoh menghadap angkara. Tegap pada setiap ketidakadilan dan kedzaliman. Bahkan suara lantangku kini keluar menghadang setiap kemunkaran tanpa getar. Seakan pita suaraku menjadi jernih karena aliran hidayah-Mu. Tapi tak membuatnya keriput, bahkan bergetar dalam gigilnya.

Jari-jemariku kini pun mulai kuat. Tanganku, pergelangan, dan sekujur tubuhku. Semua serempak bersinergi pada kerja kebaikan. Seakan asupan wedang jahe, aliran darah di tubuhku kini normal kembali. Organ-organ kini bisa berfungsi semula sesuai titah Tuhannya. Tak ada lagi mati rasa, kakunya kaki atau tangan, keseleo lidah, dan aneka macam penyakit tak berguna yang hanya memakan masa usiaku.

Kutatap pendar cinta-Mu. Indah!!

Memang indah, kali ini aku tersenyum. Mengapa tak sedari dulu aku metatap cinta-Mu. Padahal kutahu cinta-Mu selalu berpendar di setiap sudut hidupku. Ah, memang saat itu aku masih berada dalam kubang kegelapan. Wajar mataku masih terlalu silau untuk menatap pendar cinta-Mu. Jari jemariku juga masih kaku kedinginan karena mendekam dalam gelap, sehingga sulit untuk meraba cinta-Mu. Apalagi mulutku, setelah lama berada dalam kubangan itu selalu merasa mual dan ingin muntah, sehingga tak kuasa untuk berucap bahwa aku mencari cinta-Mu.

Tapi kini indah, itu yang kutatap. Paling tidak dari pendar cinta-Mu. Retak yang kau tinggalkan di tanah tempatku berpijak, kini membuatku lebih berhati-hati dalam berjalan meniti hidupku. Lebam yang kau torehkan pada sekujur tubuhku, kini membuatku lebih berhati-hati untuk bersentuhan dengan apa yang ada di sekitarku. Bibirku tak boleh terkoyak lagi, mataku tak boleh memerah lagi, dan segala organ lainnya kini harus lebih kujaga.

Agar indah pendar cinta-Mu yang kini kutangkap dengan mataku bisa tetap abadi dalam tatapku. Dan pikirku cemerlang, citaku dahsyat, hatiku sejuk, dan langkahku hangat, karena memandang pendar cinta-Mu yang indah di mataku.

(Irfan Azizi, Islamabad 11 Oktober 2009)

Saat kutatap semua peristiwa hidup ini ternyata cinta-Nya yang berpendaran dalam mataku.

11 52009000 2007 at 7:51 pm Leave a comment

di Balik Agendanya

Sudah sebulan berlalu, tapi aku belum bisa melupakan dia, mungkin 5 tahun kenangan pahit dan manis yang terukir dan sudah mengakar dalam hatiku, setiap kali aku masuk kekamar kos ku, mataku langsung menyapu pojok ruangan itu, seakan dia menceritakan kenangan-kenangan indah yang kulewatkan bersamanya, kasur biru mengingatkan tubuh itu yang terlelap dibawa mimpi saat aku pulang terlambat, senyum manis dengan secangkir lemon tea menyambutku kalau aku pulang cepat, disana juga aku melihat tubuh itu mendengkur dan kadang tertawa riang, kadang juga kasur itu menjadi saksi bisu kalau aku lagi usil mengganggu dia tidur. Sekali lagi mataku jatuh pada sebuah rak buku tua, yang ditemani sebuah cermin berukuran besar, ya… cukup besar untuk kupakai buat menari-nari ketika kupakai baju. Rak itu penuh dengan buku, kadang-kadang aku juga sering melihat dia membolak-balik isi rak itu sampai jam 2 malam, rak buku yang menjadi saksi bisu ketika dia mengatakan,

Men, kalau aku nggak ada lagi kamu bakal dapat warisan buku banyak, enak kan?”. Saat itu pun aku menjawab,

” Ooo…pasti choy…buku gratis!!”, kataku sambil tersenyum. namun dia membalas,

Hati-hati lho..ntar waktu ente buka-buka buku, kepalaku nongol..hi..!!”.

katanya sambil tersenyum, masih terlukis jelas senyuman itu dikepalaku,

Kepala? sapa takut? aku tutup aja bukunya biar kepala nte benjol!!he…” balasku seenaknya. Cermin itu juga mengingatkanku pada hobinya yang suka mendadani rambut, mungkin aku bisa menghitung dalam 10 menit 3 kali gaya rambutnya berubah, setiap kali dia disana,dia mengatakan padaku,

Selain buku kamu juga bakal dapat warisan cermin men…tapi jangan sering-sering bercermin disini ya…..”. Aku tidak pernah menganggap semua itu serius, aku Cuma mengira dia bercanda, aku tahu hobinya mengarang cerita, bercanda, satu jam bicara sama dia, mungkin Cuma dua menit yang serius, tapi…Aku nggak pernah mengira, ajal memang nggak pandang bulu,  banyak orang tua berumur 80 tahun masih sehat, mungkin inilah garis kehidupannya, 22 tahun telah tertulis baginya untuk menghirup udara, menikmati indahnya dunia, merasakan pahitnya kehidupan, tapi aku yakin, dia pindah ketempat yang jauh lebih baik dari kamar kos ini!!

Suatu hari dia pernah berkata “men, kebanyakan orang tua menyegerakan tidur malam dan bergegas untuk bangun di pagi harinya mungkin karena mereka tidak ingin kehilangan waktu sedikitpun di akhir masa mereka yang sudah dekat ajal. Sedangkan sebaliknya, para pemuda rela begadang dan suka bangkong mungkin karena mereka merasa waktu mereka masih panjang dan lama. Lucu ya.. Padahal mereka tak pernah tahu kapan ajal menjemput” ungkapnya dengan penuh senyum. Aku tak pernah menanggapi keseriusan dari apa yang dikatakannya, kuhanya anggap itu angin lalu saja. Tapi anggapanku malah berbalik menjadi sebuah kenyataan.

Kutatapi terus rak buku itu, rasanya mataku tidak ingin berpaling, dan tanpa terasa pipiku basah, air mataku mengalir. Sejak dia pergi, rak itu tidak pernah kusentuh. Tepatnya Jum’at malam, berita duka yang sampai di telingaku itu terus terngiang. Sejak gempa Sumbar berskala 7,6 skala richter yang memporak porandakan semuanya, meluluh lantahkan bangunan rata dengan tanah, dan tentu memakan ribuan korban itu betul-betul menghantuiku diselimuti rasa khawatir, galau, dan risau, terlebih ketika tak bisa kuhubungi nomornya sejak saat itu. Hingga akhirnya kuterima kabar dari milis almamaterku yang mengabarkan bahwa dia sudah tiada.

Entah kenapa, malam ini ingin rasanya aku membuka rak itu, ingin rasanya kubolak-balik lembaran putih itu, ditempat jari-jarinya pernah menari-menari sambil ditemani lagu Cinta Terlarang-nya The Virgin, tapi I’m yours milik milik Jason mraz paling dia suka. Kudekati rak itu perlahan, aku duduk bersila di depan rak itu, menatap setiap buku yang seakan sedih ditinggal tuannya, hati kecilku berkata,

Jangan kau bersedih, anggap saja aku Tuanmu yang baru, kau mencintai tuanmu seperti kamu mencintainya, aku akan merawatmu, aku tahu kamu sedih, tapi, apakah kamu tidak merasakan perasaanku? kita sama-sama ditinggal orang yang kita cintai! kamu ikut menemani dia di kamar ini, di kelas, di kampus, ditaman waktu malam minggu,, bersama senyuman dedaunan dan nyanyian burung-burung, tapi kamu tahu? Aku juga ada disana, bahkan aku bersama dia disaat kamu tidak ada, jadi tolong jangan tambah kesedihanku dengan tatapan sayumu…”

Tatapanku berhenti di buku hitam, bertuliskan BLITZA REMIGION 2005, buku agenda itu seakan tersenyum padaku, seakan berkata padaku,” Men..ambil aku..bukalah lembaran-lembaranku…jagalah aku…!”

Tanganku pun meraih agenda itu, agenda Alumni Pondok Modern Gontor 2005, dan aku sendiri juga memiliki agenda itu. Kutatap Agenda hitam yang sekarang sudah berpindah di tanganku, kutatapi terus…bibirku bergoyang, setetes air mata jatuh di atas sampul agenda itu, pas diatas huruf B, kuhapus tetesan itu perlahan, dalam hatiku aku berkata,

” Bro, maafkan aku, aku tahu ini agenda pribadi kamu, mungkin kamu tidak pernah mengijinkan seorang pun membukanya, tapi malam ini aku memberanikan diri membukanya, maafkan aku Bro, tapi aku merasa kamu seperti saudaraku, kamu sangat percaya padaku, sehingga semua masalah kamu ceritakan padaku, tapi aku tidak pernah punya kepercayaan padamu sejauh itu, maafkan aku Bro…”.

Sampul hitam Agenda kubalik perlahan, lembaran pertama berisi Biodata dan foto, fotonya tersenyum padaku setelah satu bulan kami berpisah, senyum yang sering kulihat didapur, mengaduk sambal, kadang juga senyum itu mengejekku ketika aku terlambat bangun subuh, tapi aku ingat senyum itu selalu ada waktu sedih dan senang. Setelah lembaran pertama terbuka, rasanya tak ingin aku membuka halaman selanjutnya, aku tidak kuat! Tapi hati ku menyuruhku meneruskan ke halaman selanjutnya, tanpa terasa air mataku menetes lebih deras. Lembaran selanjutnya kubuka, namun tidak ada yang kuanggap penting, mungkin hal itu sudah kuketahui semua lewat cerita-ceritanya, lembar demi lembar terlewati begitu saja, tanpa ada satu lembaran pun yang menarik perhatianku, lembaran terus lewat satu demi satu, mungkin hampir habis, tanpa sengaja halaman 42 menghentikan jari-jari ku, mataku tertuju pada lembaran itu, tulisan yang tertanggal 13 september sebelum sebelum dia pamit pulang ke Padang.

Malang,13 September 2009, 03.00 WS

“Aku teringat doa almarhum  Ust. Ahmad Sahal ketika pondok dapat musibah…

“Ya Allah berilah aku cobaan seberat-beratnya, dan berikan aku kekuatan untuk menjalaninya”.

Kiranya pantas sekali bagiku mengucapkan doa itu, malam ini kan mungkin saja Malaikat sedang mengumpulkan buku amalanku untuk dilaporkan kepada Sang Kholiq. Aku tak pernah tau kapan dan di mana Dia akan menjemputku, bisa saja malam ini.

Ya Allah…Aku nggak punya amalan yang bisa kugunakan untuk mendekatkan diriku pada-Mu, mungkin setiap detik nafasku tidak untuk mengingat-Mu, tidak untuk mensyukuri-Mu, Aku menerima takdir-Mu untuk pergi jauh dari keluarga, padahal Engkau tahu keadaan keluargaku yang serba kekurangan dan aku hanya bisa bersenang-senang di sini,meski aku lalai tapi aku menerima semua keputusan-Mu, aku pergi mencari keridhaan-Mu, mencari Ilmu, ajarkan aku cara bersyukur dengan mengamalkan apa yang aku miliki dari anugerah-Mu, jangan jadikan itu semua beban dosaku disaat aku menghadap-Mu, ajarkan aku mengamalkan ilmu-Mu!

Air mataku mengalir tambah deras, tanpa kusadari jenggotku yang tipis telah basah dengan air mata, rasanya tak sanggup kubalikkan lembaran selanjutnya, berat ya Allah…apa yang terjadi pada temanku ya Allah…kenapa aku tidak tahu…..kupaksakan membuka lembaran selanjutnya.

Malang, 14 September, 03.00 WS

“Dunia serasa tersenyum hari ini kepadaku, entah kenapa. Yang jelas hari ini aku harus pulang ke Padang. Itu anjuran sobat baikku si Armen yang tadi bilang kalo aku sedang dilanda rindu berat pada seseorang aku harus segera datangi dia atau paling tidak telepon, begitu katanya. Karena kita tidak pernah tau kapan terakhir kali kita melihatnya ato hanya sekedar mendengar suaranya, Izrail tak pernah mau terima tawar-menawar masalah cabut nyawa. Kupikir-pikir betul juga. Dah dua tahun aku belum pulang ke Kampung halamanku, aku rindu kedua ortuku. Maka aku putuskan besok pagi aku pulang ke padang. Tau gak kamu diary? Armen telah ngajarin banyak hal kepadakau untuk bertindak dan berbuat. Dia sahabat terbaikku dengan advicenya yang khas bisa meluluhkanku. Ah..anyway aku musti balik ke Padang dan berkumpul lagi bersama keluargaku, senangnya. Sampai jumpa ya diary…entah kapan kubisa toreh penaku lagi sama kamu. Tenang aja…masih ada Armen yang siap temanin kamu kok..he..he…

Wsalm.

Astagfirullah…aku merasa aku telah dzholim pada diriku sendiri,mengapa sedikitpun aku tak bisa merelakan sepeser duit untuk sekedar beli pulsa dan menyapanya tatkala aku rindu  padanya, dan akhirnya benar…aku tak bisa menatapnya lagi kini.

Seorang sahabat kadang jarang kita hargai, ketika udah nggak ada lagi baru merasa kehilangan, bukankah dia saudara kita dengan Ibu yang tidak sama? Bukankah persahabatan adalah ikatan yang tak kenal ruang dan waktu? Ketika kamu punya pacar, pasti setiap hari pikiran kamu dihiasi rasa cemburu? Kalo udah putus…yakinlah nggak bakal ada peace lagi disana! Tapi sahabat….lebih dari itu…kebaikan sahabat terlalu indah untuk diungkapkan dengan kata-kata…terlalu banyak untuk ditoreskan lewat pena…

Bro….doaku selalu menyertaimu…aku janji akan selalu mendoakan mu…aku janji…..aku minta ijin ya kalau aku punya anak laki-laki kuberikan namanya seperti nama kamu?  Syahid Khotami…yang berkahir dengan kesyahidan.

By : Firman

11 52009000 2007 at 7:46 pm Leave a comment

Karena Aku Seorang Pelacur

Entah apa yang membawaku ketempat ini. Malam yang semakin larut di kota Jakarta yang tak pernah terlelap. Ku rasakan tubuhku semakin letih dan lelah, ku berjalan di lorong pertokoan di daerah mangga besar, Jakarta Barat. Jam telah menunjukan pukul 2.30 wib , ku kerahkan seluruh tenagaku untuk melangkah. Namaku Suratmi, aku tingggal di rumah kontrakan di daerah ini, hanya berada di belakang Lokasari Plaza. Aku tinggal bersama teman-teman seprofesi, tak banyak waktu kami habiskan bersama, karena kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Segala letih dan lelah tak ku hiraukan, demi anak dan ibuku yang telah tua renta yang berada di kampung halaman.

“Walo harus melacur?”

“Kenapa ga coba cari pekerjaan lain aja sih?”

“Melacurkan dosa Ratmi!!”

Kata-kata Rina yang masih terngiang di telingaku. Bukan aku tak takut dosa, tapi karena aku tak punya pilihan. Percakapan kami pada beberapa waktu yang lalu itu membuat hatiku tidak tenang. Rina seorang gadis berjilbab yamg aku kenal belum lama ini. Dia seorang gadis yang baik, sopan dan ramah. Dia bekerja sebagai seorang penjaga kasir pasar swalayan di Lakasari. Rina banyak memberiku nasihan-nasihat kehidupan, walau umur kami tak berbeda jauh tapi dia nampak lebih dewasa.

Rina memang tidak sekolah tinggi hanya lulusan SMA, tapi dia jauh lebih beruntung dari pada aku. Aku hanya lulusan SD, SMP pun aku tidak tamat. Semenjak Ayahku meninggal pendapatan keluarga kami jadi memburuk. Ibuku yang hanya seorang penjual sayur-sayuran di pasar. Adikku satu-satunya meninggal karena sakit keras dan kami tak mampu membawanya berobat. Aku pun tidak bisa melanjutkan sekolah, karena tak ada biaya dan karena aku harus membantu ibu jualan. Pada usiaku 15 tahun aku dinikahi oleh seorang guru Madrasa di kampungku. Kehidupan kami pun membaik, mas Tejo begitu sayang pada aku dan ibuku. Di usia 5 bulan pernikahan kami, aku mengandung, dan kami pun di karuniakan anak laki-laki yang tampan.

Aku sangat bahagia saat itu, walau hidup kami sangat pas-pasan namun kami hidup sejahtera dan harmonis. Keluarga kecil dan sederhana bukanlah alasan bagiku untuk tidak bahagia. Aku bangga dengan suamiku, walau dia hanya lulusan Madrasah tapi dia pria yang soleh. Banyak hal yang dia ajarkan padaku, karena aku memang tidak paham benar tentang agama.

Hari itu  suamiku di mintai untuk mengisi acara ceramah di kota lain.

“Dek mas pergi dulu ya?” Kata mas Tejo sebelum Sebelum berangkat.

“Assalamualaikum”.

“Wa’alaikumsalam”, jawabku sambil tersenyum.

Tak pernah kusangka hari itu adalah hari terakhir ku melihatnya, mencium tangannya dan melihat senyuman manisnya. Hari yang membawaku ke dalam mimpi buruk, sungguh ku tak pernah ingin mengingat hari itu. Lagi-lagi ku kehilangan orang paling ku cintai, bis yang ditumpangi suamiku setelah pulang memberi ceramah mengalami kecelakaan dan jatuh kejurang, tak ada yang selamat dalam kecelakaan itu termasuk suamiku. Ketikaku mendengar berita itu ku hanya terdiam, hariku terasa hancur berkeping-keping.

Kehidupan kami kembali memburuk, anakku yang baru berumur 2 tahun harus hidup tanpa ayahnya.

“Bu, aku mau ke Jakarta!” kataku pada Ibu.

“Ke Jakarta?mau apa kamu kesana?”

“Aku mau cari kerja bu, si Wati ngajak aku kerja disana, gajinya lumayan bias buat kita hidup”.

“Kerja apa kamu disana?dan gimana dengan anakmu?mau kamu bawa?”

“Wati bantu-bantu di rumah orang kaya, katanya gaji lumayan gede. Ya Agus ndak aku bawa, nanti yang ada malah ganggu aku kerja.”

“Ya udah biar ibu yang warat anakmu, Sampai kamu kembali ya nduk.”

“Kamu hati-hati ya di kota sana.”

Aku pun berangkat ke Jakarta dengan penuh harapan, Wati membawaku kesebuah agen pembantu dan kemudian aku dikirim ke rumah dimana tempat aku akan bekerja. Bulan-bulan pertama memang begitu berat bagiku karena aku memang belum berpengalaman menjadi pembantu rumah tangga, tapi aku berusaha keras untuk bisa melayani majikanku dengan baik.

Hari-hari berjalan terasa semakin berat, majikanku tak seperti yang aku harapkan. Nyonya majikan yang begitu sulit aku pahami dengan emosinya yang turun-naik. Siksaan demi siksaan ku alami dengan tabah, ku coba bertahan tanpa ku ratapi demi orang-orang yang ku cinta. Bulan-bulan berikutnya majikanku semakin menjadi-jadi gajiku selalu saja dipotong dengan berbagai alasan. Aku merasa semakin tak mampu menahan segala hinaan dan juga fitnah dari majikanku. Suatu ketika nyonya kehilangan uang dan langsung saja menuduhku pencurinya.

“Ratmi…Ratmi…” Teriakan nyonya

Iya Nyah ada apa?”

“Eh dasar orang kampung, kamu berani-beraninya ngambil uangku!”

“Dasar maling…”

“Ndak nyah, saya ndak ngambil uang nyonya…”

Belum selesai ku membela diri, tamparan keras ku rasakan di pipiku. Ku tak bisa berkata apa-apa ku hanya menangis dan memohon ampun. Setelah hari itu hidupku semakin tersiksa, majikan semakin bertindak seenaknya, dan selalu mengancam akan membawaku ke polisi jika aku melawan. Hatiku semakin hancur, ku tak tahan menahan segala rasa penghinaan ini. Ku putuskan untuk kabur dari rumah itu.

Aku memang orang kampung, aku tak kenal kota Jakarta yang keras. Tak ada kerabat atau teman yang aku kenal, yang aku kenal hanya Wati teman sekampungku dulu. Tapi aku tak pernah berjumpa dengannya sejak aku bekerja di rumah itu. Kini ku tak tahu harus kemana, ku tak punya uang untuk kembali ke kampung. Karena semua gajiku selalu aku kirim ke kampung dan gaji terakhir belum dikasihkan. Tak ada tempat berteduh dan tidur, aku kelaparan dipinggir jalan.

“Loh mba kenapa tidur disini, kan dingin malam-malam begini. Ikut aku ketempatku aja yuk!” Kata seorang wantia yang berdiri di depanku. Itu pertama kaliya aku berjumpa dengan Nita yang kini menjadi teman seprofesiku dan teman satu kontrakanku. Hasratku untuk merubah hidup membawaku ke dunia yang gelap tanpa ujung. Kini ku terdampar tak berdaya, dalam hati kecil ku ingin sekali keluar dari dunia ini. Tapi apakah mungkin? apakah masih tempat untukku di luar sana?

Kebimbangan dalam hatiku kini yang membuatku tak tahu arah mana yang akan ku ambil. Ku inginkan kehidupan yang jauh lebih baik. Demi orang-orang yang aku cinta, demi ibu dan anakku, segalanya aku korbankan untuk membahagiakan meraka. Aku tak ingin meraka tahu apa yang ku kerja kan selama ini, ku tak ingin meraka tahu kegagalanku di kota ini. Tapi Rina selalu berusaha membantuku untuk keluar dari dunia yang gelap ini.

“Ratmi… sebaiknya kamu mencari pekerjaan lain”, kata Rina sore tadi.

“Iya aku pun maunya begitu tapi aku dapat kerja dimana? Aku Cuma lulusan SD Rin.”

“Ya kebetulan bibiku yang tinggal di pasar minggu lagi butuh orang bantu dia di warung nasinya, memang gajinya tak seberapa tapi aku rasa itu awal yang baik untuk mu” jelas Rina dengan sabar.

“Sebaiknya kamu cepat-cepat bertobat Rat!”

“Tobat?”

“Apa dosa-dosaku akan di ampuni?”

“Rat Allah itu maha pengampun, kalo kamu benar-benar tobat insyAllah di ampuni segala dosa dan kekhilafanmu.”

“Bagaimana dengan masyarakat? Apa mereka bisa menerimaku?”

“Kenapa tidak? Mereka pasti bisa.”

“Rin, kamu tahu aku ini siapa, kamu mungkin bisa terima aku tapi mereka…”

“…mereka belum tentu bisa”

“Loh memang kenapa? Menurutku kamu orang baik, dan tak ada alasan untuk tidak memberikan kamu kesempatan kedua”

“Ya… Karena aku seorang pelacur Rin, mereka akan jijik jika melihatku dan juga meghinaku”

Nafasku tersengal, airmata mengalir tanpa ku sadari, rasa takut dan bersalah dengan apa yang telah ku perbuat. Tapi Rina selalu ada untukku, selalu meyakinkan bahwa niatku untuk keluar dari dunia yang gelap ini adalah keputusan yang tepat.

“Sudahlah Ratmi, yang penting kamu usaha dulu ya, dan tenang saja, aku tidak akan cerita apa-apa pada bibiku tentang profesimu ini, jadi kamu bisa kerja dengan tenang.”

Hingga ku putuskan untuk pergi dari dunia gelap ini dan memulai hidup baru. Aku sungguh beruntung berteman dengan Rina, gadis yang sopan dan baik hati. Ku ingin merubah kehidupanku yang gelap tanpa arti ini. Semoga masih ada tempat untukku disana.

***

Lahore, Desember 2008

By : Novie

11 52009000 2007 at 7:34 pm Leave a comment

Older Posts


Welcome

Selamat Datang di Blog FLP wilayah Pakistan Terimakasih telah mengunjungi blog kami

kalender

April 2024
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  

Anda pengunjung ke

  • 16,517